Terima kasih atas kunjungannya, untuk Silaturahmi mangga kunjungi facebook atau twitter saya

Selasa, 24 Juli 2012

Mengenal 7 Macam Nafsu Dalam Diri


1. Nafsu Ammaroh.
Letaknya di bagian dada agak sebelah kiri. Tabiatnya senang berlebih- lebihan, royal, hura-hura, serakah, dengki, dendam, iri, membenci orang, tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati, senang nurutin sahwat, suka marah-marah dan akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah.
Letaknya ada di dalam hati sanubari di bawah susu yang kiri kira-kira dua jari. Tabiatnya acuh, senang memuji diri, pamer, senang mencari aibnya orang lain, senang menganiaya, berdusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah.
Tempatnya kira-kira dua jari ke arah susu yang kanan dari tengah dada. Tabiatnya suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, merendahkan diri, taubat, sabar dan tahan menghadapi kesulitan serta siap menanggung betapa berat dan lelahnya melaksakan kewajiban.
4. Nafsu Muthmainnah.
Tempatnya di dalam rasa kira-kira dua jari ke arah susu kiri dari tengah-tengah dada. Tabiatnya senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, senang bersyukur kepada Tuhan, ridha kepada hukum ketentuan Allah dan takut kepada Allah.
5. Nafsu Radhiyah.
Tempatnya di dalam hati nurani dan di seluruh jasad. Tabiatnya pribadi yang mulia, zuhud, lkhlas, waro, riyadhah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardhiyah.
Tempatnya di alam yang samar, mengarah kira-kira dua jari ketengah dada. Tabiatnya bagusnya budi pekerti, bersih dari segala dosa, senang mengajak dan memberi nasehat kepada semua makhluk.
7. Nafsu Kamilah.
Tempatnya di alam yang sangat samar. Mengarah di kedalaman dada yang paling dalam. Tabiatnya: Ilmu-yakin, Ainul-yakin dan Haqqul-yakin.
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa meskipun nafsu mulhimah sama dengan nafsu kamilah yang tabiatnya bagus-bagus, luhur dan mulia, namun tetap harus bersandar kepada Guru Wasithah dalam mengamalkannya. Karena telah jelas disepakati oleh para ulama ahlul bathin bahwa : “LA BIWUSHUULI ILAIHI ILLA BI WAASITHATIN”. ( Tidak akan dapat sampai dengan selamat ber temu dengan Allah Dzat Yang maha Ghaib apabila tidak dengan Wasithah perantara ). Wallohu a’lam.
Read more ...

Nafsu dan Sejarah Penciptaannya

"Hawa nafsu" terdiri dari dua kata: hawa (الهوى) dan nafsu (النفس).
Dalam bahasa Melayu, 'nafsu' bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan kata hawa (=hawa nafsu), biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik. Adakalanya bermakna selera, jika dihubungkan dengan makanan. Nafsu syahwat pula berarti keberahian atau keinginan bersetubuh.
Ketiga perkataan ini (hawa, nafsu dan syahwat) berasal dari bahasa Arab:  
Hawa (الهوى): sangat cinta; kehendak  
Nafsu (النفس): roh; nyawa; jiwa; tubuh; diri seseorang; kehendak; niat; selera; usaha  
Syahwat (الشهوة): keinginan untuk mendapatkan yang lazat; berahi.
Ada sekolompok orang menganggap hawa nafsu sebagai "syaitan yang bersemayam di dalam diri manusia," yang bertugas untuk mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran. Mengikuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.
Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafsu dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketenteraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafsu yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan). Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafsu adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah menusia dapat mencapai hal tersebut.
Setiap hari kita berperang dengan nafsu. Kadang-kadang berjaya, kadang-kadang kalah. Semoga dengan mengetahui sejarah asal kejadian nafsu ini, kita dapat memahami kenapa kita susah nak lawan nafsu dan lebih bijak mengatasi godaannya selepas ini.


Dalam sebuah kitab karangan 'Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyi, seorang ulama yang hidup dalam abad ke XIII Hijrah, menerangkan bahawa sesungguhnya Allah S.W.T telah menciptakan akal, maka Allah S.W.T telah berfirman yang bermaksud : 


"Wahai akal mengadaplah engkau." 
Maka akal pun mengadap kehadapan Allah S.W.T., kemudian Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : 
"Wahai akal berbaliklah engkau!", lalu akal pun berbalik.
Kemudian Allah S.W.T. berfirman lagi yang bermaksud : 
"Wahai akal! Siapakah aku?". 
Lalu akal pun berkata, "Engkau adalah Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu yang daif dan lemah."
Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : "Wahai akal tidak Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau."
Setelah itu Allah S.W.T menciptakan nafsu, dan berfirman kepadanya yang bermaksud : 
"Wahai nafsu, mengadaplah kamu!". Nafsu tidak menjawab sebaliknya mendiamkan diri. 
Kemudian Allah S.W.T berfirman lagi yang bermaksud : "
Siapakah engkau dan siapakah Aku?". 
Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau."
Setelah itu Allah S.W.T menyiksanya dengan neraka jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. Kemudian Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : 
"Siapakah engkau dan siapakah Aku?". 
Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau."
Lalu Allah S.W.T menyiksa nafsu itu dalam neraka Juu' selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : 
"Siapakah engkau dan siapakah Aku?". Akhirnya nafsu mengakui dengan berkata, " Aku adalah hamba-Mu dan Kamu adalah tuhanku."
Dalam kitab tersebut juga diterangkan bahawa dengan sebab itulah maka Allah S.W.T mewajibkan puasa.
Dalam kisah ini dapatlah kita mengetahui bahawa nafsu itu adalah sangat jahat oleh itu hendaklah kita mengawal nafsu itu, jangan biarkan nafsu itu mengawal kita, sebab kalau dia yang mengawal kita maka kita akan menjadi musnah.

Read more ...

Kenapa Allah Mesti ‘Mewajibkan’ Ibadah

Ketika mendengar kata ’kewajiban’, seringkali kita merasa ’tertekan’. Atau ’terpaksa’. Dan muncul ’keengganan’ pada tingkat tertentu untuk menjalankan perintah itu. Sebaliknya ketika mendengar kata ’dilarang’, kita jadi merasa ingin tahu. Dan ketika mendengar kata ’dibolehkan’, hati kita malah merasa ’biasa-biasa’ saja. Ternyata kita telah salah kaprah dalam memahami ’kecintaan’ Allah kepada hamba-Nya.
Ketidakmengertian menyebabkan kita berbuat salah kaprah. Bahkan dalam menjalankan ibadah. Baik kita sadari maupun tidak. Perasaan enggan ketika kita mendengar sebuah ’kewajiban’ adalah salah satu dari ketidakmengertian itu. Maka, harus segera diklarifikasi. Sehingga, setelah mengerti maksudnya, kita tidak terus menerus dalam keraguan. Dan bisa menjalankannya dengan penuh kepastian. Itulah keimanan. Dan itulah orang-orang yang benar, kata ayat di atas.
Kenapakah Allah mewajibkan shalat? Kenapa mewajibkan puasa? Kenapa mewajibkan zakat dan haji bagi yang mampu? Dan segala kewajiban-kewajiban lainnya dalam beragama. Tentu saja ada alasannya. Itulah yang harus segera diklarifikasi, tabayyun, agar kita menjadi orang yang berhati yakin.
Kewajiban beribadah, sama sekali bukan untuk Allah. Karena Dia memang Dzat yang tidak membutuhkan apa-apa dari makhluk-Nya. Justru, makhluk-lah yang membutuhkan Dia. Jika semua makhluk di alam semesta tidak menuhankan Dia, Allah tetap saja Tuhan Penguasa seluruh alam. Tidak berkurang sedikit pung keagungan-Nya.
QS. Adz Dzaariyaat (51): 56-58
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak membutuhkan rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
Lantas, kenapa Allah mewajibkan kita untuk beribadah? Karena, ternyata desain kita ini memang makhluk ibadah. Terbaca dari ayat diatas, bahwa manusia dan jin diciptakan memang sebagai makhluk ibadah. Sehingga, jika tidak beribadah kita akan menemui masalah. Seluruh kewajiban yang kita terima dari Allah itu sebenarnya adalah untuk memaksimumkan seluruh potensi kita sebagai manusia. Dan memunculkan sikap istiqomah alias kestabilan hidup.
Saya sering mencontohkan hal ini dengan analogi ’pabrik mobil’. Sebuah mobil dibuat oleh pabriknya pasti memiliki spesifikasi tertentu. Misalnya, bahan bakarnya harus pertamax. Olinya mesti dengan tingkat keenceran tertentu. Cara menjalankannya harus mengombinasikan antara kopling, gas, rem dan persneling. Dan lain sebagainya.
Maka, jika mobil itu diperlakukan tanpa memperhatikan segala ’kewajiban’ yang diperintahkan oleh pabriknya, tentu mobil itu akan rusak sebelum waktunya. Mobil berbahan bakar pertamax misalnya, Anda isi dengan bahan bakar solar, tentu saja akan rusak. Apalagi, diisi nasi pecel …! Description: :)
Demikian pula, jika mesin mobil itu diisi dengan oli yang tingkat kekentalannya tidak sesuai, pasti akan bermasalah. Atau, apalagi dijalankan dengan tanpa memperhatikan kombinasi kompling, gas, rem dan persneling yang sesuai, bisa-bisa mobilnya kecemplung jurang… Description: :(
Pertanyaannya adalah: untuk siapakah segala ’kewajiban’ yang diharuskan oleh pabrik mobil itu? Apakah untuk kepentingan pabrik, ataukah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya? Tentu dengan sangat mudah kita menjawabnya, bahwa semua kewajiban itu adalah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya. Bagi pabrik, sama sekali tidak ada kerugian apa pun kalau Anda tidak menjalankan segala kewajiban itu. Gak Patheken, kata orang Jawa…!
Bahkan, meskipun si pemilik mobil melanggar semua ketentuan itu dengan alasan yang ’baik dan benar’. Tetap, saja ia akan memperoleh efek yang merugikan ketika tidak menjalankan kewajiban. Misalnya, demi alasan ’penghematan’ maka BBM mobil diisi saja minyak tanah yang harganya lebih murah dibandingkan pertamax. Bukankah sama-sama Bahan Bakar Minyak …? Description: :(
Ibadah adalah kewajiban. Bukan untuk Allah Sang Pencipta, melainkan untuk hamba-hamba-Nya. Shalat kita adalah untuk kita sendiri. Puasa, zakat, haji, dzikir, doa, dan segala macam kebaikan yang kita usahakan, pada hakekatnya adalah untuk kita sendiri. Seluruh alam semesta tak beribadah tak akan mengganggu Eksistensi-Nya sedikit pun. Karena, sungguh segala kewajiban itu semata-mata perwujudan dari Kasih Sayang Allah untuk kebahagiaan semua makhluk-Nya…
QS. Al An’aam (6): 12
“Tanyakanlah: “Kepunyaan siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?” Jawablah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman.”

Wallahu a’lam bishshawab
(Sumber : ‘Agus Mustofa, Salah Kaprah Dalam Beragama’)
Read more ...
Designed By Nana Misnara