Rabu, 23 November 2022
Nasehat
Orang Sholeh
Minggu, 20 November 2022
TANDA-TANDA RIYA
Sabtu, 19 November 2022
RENUNGAN PAGI "SURGA"
Surga adalah tempat terindah untuk para hambaNya yang indah.
Surga ialah transit terakhir dalam perjalanan hidup kita.
Surga, baunya saja begitu didambakan._
Setelah berhasil melewati fase kehidupan, kita akan dihadapkan dengan dua tempat.
Tempat terburuk dan tempat terindah. Neraka vs Surga.
Kita pasti mengharapkan surga menjadi tempat tinggal kita selamanya.
ما لا عين رأت ولا أذن سمعت و لا خطر على قلب بشر
*"Keindahan Surga itu tak pernah diliat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak akan terlintas di hati seseorang."*
Seberapa indah? 100% indah.
Apapun yang kau mau, pasti akan kau dapati disana.
Rumah besar? Makanan lezat? Jalan-jalan keliling dunia? Semuanya ada.
Tentunya tidak ada pusat pariwisata yang mampu menyaingi keindahannya.
%Dikatakan semua orang di surga berumur 33 tahun, dan akan terus menetap serta tidak bertambah tua._
*Selain itu, surga memiliki beberapa pintu. Diantaranya, pintu shalat, jihad, puasa, dan sedekah.*
Lalu, pintu mana yang akan kita masuki?
_Surga juga mempunyai tujuh tingkatan._
*Yang paling tinggi adalah Surga Firdaus. Setelah itu 'Adn, Khuld, Na'im, Ma'wa, Darus Salam, dan diakhiri dengan Darul Jalal.*
Poin penting bagi seluruh penduduk surga adalah ketika Allah menyerukan,
أحل عليكم رضواني فلا أسخط عليكم بعده أبدا !
_"Aku halalkan atas kalian keridhaanKu. Maka Aku tidak akan murka pada kalian lagi setelah ini, selamanya."_
Ya Allah... Betapa nikmat dan leganya hati mendengar seruan tersebut.
Sudah! Yakinlah. Segala letihmu dalam memegang teguh imanmu, akan terbalas penuh di surga nanti.
*Surga tempat dimana tidak ada keluh kesah, jerih payah, sakit hati, dan gelisah.*
Jika sebegitu indahnya, marilah bangkit dan lupakan segala lara kita.
Jangan pusing memikirkan dunia! Karena dunia ini memang tempatnya pusing.
Tapi perbaikilah hubungan dengan Tuhan, untuk menggapai surga, tempat ketenangan hati dan jiwa.
*Ingat! Dirimu sedang dinanti oleh surga.*
*Tidak inginkah kamu berusaha memenuhi penantiannya?*
Sekelumit faedah malam kelahiran Nabi saw
Malam kelahiran Rasulullah (12 rabiul awal) , yg nabi lahir sebelum Fajr,,,
Hendaklah
kalian bangun malam utk merayakan hari kelahiran Nabi Muhamad, sholat
sunnah malam (tahajud), menghidupkn mlm kelahiran Rasul Saw dgn maulid
sendiri d rumah bersama keluarganya atau membaca burdah atau membaca
sholawat Nabi , memuji2 nabi, kemudian sujud syukur sm Allah krn d
jadikan umat nabi Muhammad
InsyaAllah Rumah2 akan d penuhi cahaya2 yg nmpak dari langit
Kemudian hendaklah kalian
Shodaqoh
yg di niatkan buat kelahiran Rasulullah, kalo syaroif yg d kasi bilang
aja kasi hadiah buat merayakan kelahiran nabi muhammad
Shodaqoh bisa macam2 :
Beras , (setiap biji beras bisa memintakan ampun / ber istighfar buat yg ngasi)
Susu niatkan utk memutihkan ruh
Gula utk memaniskan hati
Minyak utk melicinkan hati yg seret2
Telur niatkan utk menjaga anak keturunan kita
Kopi bisa utk ngilangkan pusing2
Garam , karena garam d pake utk sgala macam masakan , maka kita akan dpt pahalanya
Kemudian jangan lupa juga
*Sholat hadiah* :
Niatnya : usholi sholatan al unsu rokataini lillahi taala
*D Niatkan sholat hadiah buat rosulullah*..
* Jangan lupa sholat jammaah , karena Nabi Muhammad paling senang melihat umatnya sholat berjamaah
Wallahu A'lam
AHLI IBADAH YANG RUGI
Ada seorang ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang kuat sekali tahajudnya.
Hampir bertahun-tahun dia tidak pernah absen melakukan sholat tahajud.
Pada suatu ketika saat hendak mengambil wudhu untuk tahajud,
Abu dikagetkan oleh keberadaan sesosok makhluk yang duduk
di bibir sumurnya. Abu bertanya,
“Wahai hamba Allah, siapakah Engkau....????”
Sambil tersenyum, sosok itu berkata;
“Aku Malaikat utusan Allah”.
Abu Bin Hasyim kaget sekaligus bangga karena kedatangan tamu malaikat mulia.
Dia lalu bertanya,
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini....??????”
Malaikat itu menjawab,
“Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah.”
Melihat Malaikat itu memegang kitab tebal, Abu lalu bertanya;
“Wahai Malaikat, buku apakah yang kau bawa.....?????”
Malaikat menjawab;
“Ini adalah kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah.”
Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati
namanya ada di situ. Maka ditanyalah Malaikat itu.
“Wahai Malaikat, adakah namaku di situ....????? ?”
Abu berasumsi bahwa namanya ada di buku itu, mengingat amalan ibadahnya
yang tidak kenal putusnya. Selalu mengerjakan shalat tahajud setiap malam,
Berdo’a dan bermunajat pd Allâh SWT di sepertiga malam.
“Baiklah, aku buka,”
kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya. Dan, ternyata Malaikat itu tidak
menemukn nama Abu di dalamnya. Tidak percaya, Abu bin Hasyim meminta
Malaikat mencarinya sekali lagi.
“Betul … namamu tidak ada di dalam buku ini...!!!!”
Kata Malaikat.
Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat.
Dia menangis se-jadi-jadinya.
“Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud
dan bermunajat … tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba
pecinta Allah,”
ratapnya. Melihat itu, Malaikat berkata,
“Wahai Abu bin Hasyim.....!!!! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam
ketika yang lain tidur … mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang
lain terlelap dalam buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allâh menulis namamu.”
“Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya....??????”
Tanya Abu bin Hasyim.
“Engkau memang bermunajat kepada Allâh, tapi engkau pamerkan dengan rasa
bangga kemana-mana dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di kanan
kirimu ada orang sakit atau lapar, tidak engkau tengok dan beri makan.
Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah kalau engkau
sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allâh..??? ?”
kata Malaikat itu.
Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang bolong. Dia tersadar
hubungan ibadah manusia tidaklah hanya kepada Allâh semata (hablumminAllâh),
Tetapi juga ke sesama manusia (hablumminannâs) dan alam.
Semuga manfaat, Amiiiin...
Minggu, 13 November 2022
Doa menempati rumah
Menempati rumah baru sangat penting untuk berdoa agar rumahnya berkah
اَللهم صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اَللهم إِنَّا نَسْئَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلَجِ وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا وَبِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلىٰ رَبِّنِا تَوَكَّلْنَا. اَللهم اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَوَسِّعْ لَنَا فِى دَارِنَا هٰذَا
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى أَرْزَقِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِى مَعِيْشَتِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِى بُيُوْتِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِى عُمْرِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِى أُمُوْرِنَا.
اَللهم سَلِّمْنَا وَسَلِّمْ دِيْنَنَا وَسَلِّمْ أَجْسَادَنَا وَسَلِّمْ أَمْوَالَنَا مِنْ بَلآءِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ. رَبَّنَا أَدْخِلْنَا مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنَا مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا
وَصَلىَّ اللهُ عَلىٰ سَـيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلىٰ اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
للهم يَا مَنْ فَلَقَ الْبَحْرَ لِمُوْسَى بْنِ عِمْرَانَ وَنَجَّى يُوْنُسَ مِنْ بَطْنِ الْحُوْتِ وَسَيَّرَ الْفُلْكَ لِمَنْ شَاءَ أَنْتَ الْعَالِمُ بِعَدَدِ قَطْرِ الْبِحَارِ وَذَرَّاتِ الرِّمَالِ يَا خاَلِقَ أَصْنَافِ عَجَائِبِ الْمَخُلُوْقَاتِ أَسْأَلُكَ الْكِفَايَةَ يَا كَافِيَ مَنْ اِسْتَكْفَاهُ يَا مُجِيْبَ مَنْ دَعَاهُ يَا مُقِيْلَ مَنْ رَجَاهُ أَنْتَ الْكَافِيْ لَا كَافِيَ إِلَّا أَنْتَ اِكْفِنِيْ شَرَّمَا أَخاَفُ وَأَحْذَرُ وَامْلَأْ مَنْزِلِيْ هَذَا خَيْراً وَبَرَكَةً
رَّبِّ أَنزِلْنِي مُنزَلاً مُّبَارَكًا وَأَنتَ خَيْرُ الْمُنزِلِينَ
PUASA ADALAH JALAN AGAR KAMU BERTAKWA
Puasa di bulan suci Ramadhan bermuara pada ketakwaan kepada Allah SWT seperti yang dijelaskan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
la’allakum tattaqun. Meskipun memang, puasa bukan satu-satunya ibadah yang dapat membawa manusia pada ketakwaan, tetapi level takwa telah dijamin oleh Allah untuk orang-orang beriman yang menunaikan ibadah puasa Ramadhan.
Berbicara tentang, Pakar Tafsir Prof Dr Muhammad Qiraish Shihab dalam buku
karyanya Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000)
menjelaskan, takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi,
atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti,
hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah.
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana
mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya. Sedangkan Dia
(Allah) bersama manusia di mana pun manusia berada.
Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya.
Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa
mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Sebagaimana
kita ketahui, siksa Allah ada dua macam:
Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang
ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini. Seperti misalnya, "Makan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit", "Tidak mengendalikan diri
dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan
membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti
tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang
dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syekh Muhammad Abduh dalam Quraish Shihab (2000) menulis, "Menghindari
siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.”
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang
menyiksa (Allah SWT). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya
siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT (yang
menyiksa).
Dengan demikian, yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT
setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu
dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya,"
sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai derajat takwa, antara
lain dengan jalan berpuasa seperti yang dijelaskan di awal. Puasa seperti yang
telah dipahami bersama adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain
karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT.
Sebab, beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani
sifat-sifat Allah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Dalam hal
ini, kekuasaan Allah baik dalam wujud ayat-ayat qauliyah (wahyu) maupun
ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda alam) bisa menjadi washilah bagi manusia
merenungi sekaligus memanifestasikan sifat-sifat Allah.
BERTEMAN YANG BAIK, CARA MEMPERBAIKI KUALITAS DIRI
قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ إِنَّ اللّٰهَ قَسَمَ بَيْنَكُمُ الْأَخْلَاقَ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمُ الْاَرْزَاقَ
Artinya: “Sebagian ulama ahli hikmah berkata, ‘Sesungguhnya Allah membagi-bagi akhlak kalian sebagaimana Ia membagikan rezeki kepada kalian’.”
Secara material, ada orang yang diberikan rezeki melimpah ruah, serba kecukupan; ada pula yang sederhana, tak begitu banyak. Demikian pula akhlak. Ada orang yang diberi anugerah oleh Allah mempunyai akhlak yang sangat bagus, menjadi orang yang shalih. Ada juga yang akhlaknya lumayan bagus. Dan ada pula yang kurang punya adab.
Mari kita introspeksi diri kita masing-masing, kita termasuk golongan orang yang mana? Sayyidina Umar ibn Khattab mengatakan:
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
Artinya: “Introspeksilah pribadi kalian masing-masing sebelum kalian dihisab pada hari kiamat nanti.”
Di sini Sayyidina Umar tidak mengatakan:
حَاسِبُوْا غَيْرَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
Artinya: “Hitung-hitunglah amal orang lain sebelum kalian dihisab.”
Maksudnya Sayyidina Umar supaya kita tidak suka mengoreksi pribadi orang lain. Namun kita koreksi pribadi kita masing-masing. Ar-Rafi’i berkata:
مَنْ شَغَلَهُ بِعُيُوْبِ النَّاسِ، كَثُرَتْ عُيُوْبُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ
Artinya: “Barangsiapa sibuk mencari kekurangan orang lain, cacat pribadinya akan menumpuk banyak sedangkan ia sendiri tidak mengetahui.”
Pepatah mengatakan, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat.” Menggambarkan bagaimana orang yang suka mencari kesalahan orang lain namun lupa mengoreksi dirinya sendiri.
Baginda Nabi Agung Muhammad SAW adalah pribadi sangat mulia. Ia diciptakan sebagai teladan atau prototipe orang yang akhlaknya benar-benar diakui oleh Allah dalam Al-Quran dengan sanjungan Allah berupa:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Sesungguhnya kamu (Muhammad) pasti mempunyai akhlak yang sangat agung.” (QS Al-Qalam: 4)
Nabi Muhammad adalah pribadi yang perhatiannya kepada masyarakat di sekitarnya sangat besar. Keberadaannya membuat orang yang di sekitarnya merasa terayomi. Ia tidak pernah merugikan orang lain. Apalagi sampai merugikan, mengecewakan saja Nabi tidak pernah kecuali jika memang pribadi orang yang kecewa adalah orang yang iri atau hasud atas kebaikan dan kerasulan Baginda Nabi Muhammad SAW.
Suatu ketika Nabi Muhammad pernah mendapatkan uang 90.000 dirham atau setara dengan sekitar Rp350 juta. Rasulullah kemudian membagikannya kepada masyarakat di sekitar sampai benar-benar habis. Setelah uang habis, tiba-tiba ada seorang miskin datang sowan kepada Nabi.
“Ya Rasulallah, kami belum dapat.”
Kata Nabi, “Wah, ini sudah habis semua. Tapi kamu tetaplah tenang. Jangan khawatir! Sana pergilah ke toko. Belanjalah sesuai dengan kebutuhanmu. Dan bilang sama penjualnya, nanti insyaallah aku yang akan membayar.”
Seperti demikianlah profil Rasulullah yang all out dalam membela masyarakat. Tidak menumpuk kekayaan pribadi sedangkan di sampingnya susah, diabaikan pura-pura tidak tahu. Banyak orang yang inginnya ditokohkan di tengah-tengah masyarakat. Namun belum mau meneladani bagaimana Nabi memposisikan dirinya sebagai tokoh masyarakat.
Nabi Muhammad bukanlah tokohnya umat Islam saja. Dalam membangun peradaban Madinah, Nabi Muhammad berdiri di atas semua golongan. Orang-orang non-Muslim pun, asalkan dzimmi atau tidak melawan, memerangi Islam, akan mendapat perlindungan penuh dari Rasulullah SAW
Para sahabat, orang yang hidup pada generasi terbaik sepanjang sejarah juga berusaha melakukan hal-hal yang dicontohkan oleh baginda Nabi Agung Muhammad SAW. Sahabat Abud Darda’ mengaku:
إِنِّيْ لَأَدْعُوْ سَبْعِيْنَ مِنْ إِخْوَانِيْ فِيْ سُجُوْدِيْ أُسَمِّيْهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ (أو كما قال)
Artinya: “Sesungguhnya aku mendoakan 70 orang dari saudara-saudaraku dalam sujudku. Saya sebut nama mereka masing-masing satu persatu.”
Potret orang shalih adalah orang yang berkepribadian baik. Entah itu saat di depan khalayak, atau pun bahkan saat sendirian di tengah malam, saat memanjatkan doa-doa munajat, saat sujud dalam sunyi, mereka tetap berkepribadian baik. Orang baik bukanlah orang yang apabila ada orang lain ia menghardik setan namun saat mereka sendiri di kamar atau sejenisnya, ia justru memuja setan.
Agar kita menjadi orang baik, salah satu caranya adalah melalui berteman dengan orang-orang baik. Ciri-ciri orang yang baik adalah orang yang jika kita semakin mendekat, semakin hari semakin dekat, saat itu pula akan semakin tampak kebaikan-kebaikan yang terkuak, berarti orang yang demikian adalah orang baik.
Sebaliknya, apabila kita berteman kepada seseorang, semakin hari semakin lama semakin tampak keburukan-keburukan yang ia lakukan, berarti orang yang mempunyai tipe seperti ini adalah orang buruk.
Di antara cara kita untuk menyeleksi teman itu termasuk baik atau tidak adalah dengan cara melihat siapa saja teman yang ia kumpuli. Jika kita lihat teman-teman orang tersebut baik, setidaknya kita bisa menilai secara umum bahwa orang itu adalah orang baik. Sebaliknya, jika perkumpulannya adalah orang-orang buruk, suka minuman keras, narkoba dan lain sebagainya, secara umum ia masuk kategori mereka. Adapun orang-orang khusus yang dalam rangka dakwah atau misi-misi tertentu, itu adalah pengecualian.
Dalam sebuah syair dikatakan:
عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ # فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ يَهْتَدِيْ
Artinya: “Jangan menanyakan tentang profil seseorang secara langsung. Tanyakan saja bagaimana profil kawan-kawannya. Sebab setiap teman akan selalu mengekor kepada sikap orang yang ditemani.”
Ada sebuah ilmu yang membahas tentang hipnotis. Hipnotis yang kita kenal bisa memasuki alam bawah sadar tersebut bentuknya beraneka ragam. Ada yang melalui tangan, gerakan, maupun perkataan.
Ada iklan satu produk yang diiklan di televisi dengan diulang-ulang bisa jadi sampai 100 kali sehari. Tujuannya apa? Kalau hanya mengenalkan satu produk, cukup sekali atau lima kali tayang sudah cukup. Namun bukan begitu tujuannya. Ia mempunyai tujuan menghipnotis. Memasukkan satu produk ke dalam alam bawah sadar kita dengan cara disampaikan melalui audio visual secara masif, berulang-ulang. Dengan begitu, jika sudah tertanam, penonton akan membeli produk sesuai perintah alam bawah sadarnya.
Begitu pula orang berteman. Orang yang berteman atau mempunyai lingkungan baik, karena kebaikan selalu diulang secara terus menerus di depan mata baik siang maupun malam, secara otomatis alam bawah sadar seseorang akan memerintahkan kebaikan. Begitu pula orang yang kumpulnya dengan preman yang suka berkelahi, biasa bergumul dengan tetangga yang suka ngerumpi, senang menonton sinetron yang isinya pacaran, berkelahi, KDRT, dan lain sebagainya, jika hal ini berkesinambungan secara terus menerus, akan merusak kepribadian seseorang.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim sampai meninggalkan istrinya Hajar dan Ismail di samping Ka’bah persis. Nabi Ibrahim meninggalkan mereka untuk menuju Palestina karena wahyu dari Allah. Nabi Ibrahim tega meninggalkan mereka di lembah nan tandus, tidak ada sumber mata air dan tumbuh-tumbuhan. Tekad Ibrahim sangat kuat. Hanya ada satu alasan meninggalkan mereka di situ, yaitu di lembah yang berada di sisi Baitul Haram, di samping Ka’bah yang mulia. Sehingga harapan Ibrahim adalah karena dekat Ka’bah, nantinya mereka rajin melakukan ibadah kepada Allah berupa shalat.
Dalam Al-Quran disebutkan doa Ibrahim:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami menempatkan keturunan kami di sebuah lembah yang tandus, tidak ada tanaman di samping Baitul Haram. Tuhan kami supaya mereka menunaikan shalat. Jadikan hati-hati manusia ingin mendatangi mereka. Berilah mereke rezeki supaya mereka bersyukur. (QS Ibrahim: 37)
Dengan demikian, sudah semestinya kita membangun komunitas-komunitas, pertemanan-pertemanan kita dengan komunitas dan pertemanan yang isinya orang-orang baik. Supaya kita bisa ikut-ikutan berubah menjadi semakin lebih baik-lebih baik.
HIKMAH DAN BERKAH BULAN RAMADHAN
Telah maklum bahwa Ramadhan adalah bulan keberkahan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الِلّٰهِ ﷺ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ، يَقُوْلُ : " قَدْ جَاۤءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللّٰهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ النَّارِ، فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَها فَقَدْ حُرِمَ " (وَهٰذَا لَفْظُ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ، أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ، عَنْ بِشْرِ بْنِ هِلَالٍ)
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah s.a.w. memberikan kabar gembira kepada para sahabat beliau. Beliau bersabda: telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, yaitu bulan yang diberkahi, Allah telah memfardhukan (mewajibkan) atas kalian berpuasa di bulan itu, di bulan itu dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan di bulan itu pula ada Lailatul Qadar (Malam Qadar) yang lebih baik dari seribu bulan”, Siapa saja yang terhalang dari kebaikan malam itu maka ia terhalang dari rahmah Tuhan (HR. al-Nasa’i).
Oleh karena itu, sesungguhnya kita diajarkan oleh Nabi Muhammad agar menyambut bulan Ramadhan ini dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya sejak jauh-jauh hari, dari bulan Rajab. Sejak bulan Rajab kita diajarkan untuk memohon keberkahan hidup di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, kita diajarkan agar berdoa:
اَللّٰهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِيْ رَمَضَانَ
”Wahai Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan berkahilah pula kami di bulan Ramadhan.”
Mengapa kita diajarkan untuk memohon keberkahan? Apakah keberkahan penting bagi kita? Ini karena keberkahan hidup menjadi dambaan setiap orang yang berakal sehat. Berkah berarti bertambah. Dalam makna luas berkah berarti bertambah kebaikan (ziyâdat al-khair fî al-syai’), termasuk kesejahteraan baik dari segi material maupun immaterial.
Berkah dalam arti materi, seperti harta benda yang kita miliki makin bertambah, dan usaha semakin maju. Berkah dalam arti immateri, seperti ketenteraman hati kita makin terasa, dan pengetahuan dan wawasan yang semakin bertambah luas, yang mengarahkan kepada sikap dan perbuatan yang penuh hikmah kebijaksanaan, sikap dan perbuatan yang moderat, tidak ekstrem, sikap dan perbuatan yang mencerminkan rahmatan lil ‘alamin.
Di antara hikmah bulan Ramadhan adalah ada pengabulan doa bagi orang yang berdoa; ada penerimaan tobat orang yang bertobat, dan ada pengampunan bagi orang yang mohon ampunan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi yang panjang, yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas radhiyallau ‘anhuma, di dalam bagian hadits ini disebutkan:
يَقُوْلُ اللّٰهُ - عَزَّ وَجَلَّ - فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ : هَلْ مِنْ سَاۤئِلٍ فَأُعْطِيَهُ سُؤَلْهُ ؟ هَلْ مِنْ تَاۤئِبٍ فَأَتُوْبَ عَلَيْهِ ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟
“Dalam setiap malam bulan Ramadhan Allah ‘azza wa jalla berseru sebanyak tiga kali: Adakah orang yang meminta maka aku penuhi permintaannya? Adakah orang yang bertobat maka aku terima tobatnya? Dan adakah orang yang memohon ampunan maka aku ampuni dia?” (HR. Al-Thabrâni dan al-Baihaqî).
Pada bulan Ramadhan kita diwajibkan berpuasa, yang tujuan utamanya adalah untuk menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Sejarah kewajiban puasa Ramadhan ini ditetapkan pada bulan Sya’ban Tahun Kedua Hijriyah, yang mengandung banyak hikmahnya.
Di antara hikmah berpuasa Ramadhan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita selama ini. Karena makna ibadah secara mutlak, termasuk ibadah puasa, adalah ungkapan syukur dari seorang hamba kepada Tuhannya atas nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa kita tidak akan dapat menghitung nikmat Tuhan (QS. Ibrâhim [14]: 34).
Dalam puasa Ramadhan setidaknya ada 3 faedah (manfaat), yaitu fâ’idah rûhiyyah (manfaat psikologis/spiritual/kejiwaan), fâ’idah ijtimâ’iyyah (manfaat sosial-kemasyarakatan) dan fâ’idah shihhiyyah (manfaat kesehatan).
Di antara faedah kejiwaan dari berpuasa Ramadhan adalah pembiasaan diri kita agar berlaku sabar, ajaran agar kita mengekang hawa nafsu, dan ekspresi atau ungkapan mengenai karakteristik takwa yang tertanam dalam hati. Takwa itulah yang menjadi tujuan khusus dalam berpuasa Ramadhan.
Di antara faedah sosial-kemasyakatan dalam puasa Ramadhan ini adalah pembiasaan kita, umat Islam, untuk tertib, disiplin dan bersatu padu, cinta keadilan dan kesetaraan di antara umat Islam: antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pejabat dan rakyat, antara pengusaha dan karyawan, dan seterusnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka, semuanya wajib berpuasa ketika telah memenuhi persyaratannya. Juga di antara faedah sosial dari puasa adalah pembentukan rasa kasih sayang dan berbuat baik di antara kaum Muslim, sebagaimana puasa Ramadhan ini melindungi masyarakat dari keburukan-keburukan dan kemafsadatan.
Adapun di antara manfaat kesehatan dari berpuasa Ramadhan adalah berpuasa itu membersihkan usus-usus dan pencernaan, memperbaiki perut yang terus-menerus beraktifitas, membersihkan badan dari lendir-lendir/lemak-lemak, kolesterol yang menjadi sumber penyakit, dan puasa dapat menjadi sarana diet atau pelangsing badan.
Oleh karena itu, marilah Bulan Ramadhan ini, kita jadikan bulan kesederhanaan, bulan peribadatan, bulan memperbanyak berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bulan perlindungan badan kita, ucapan kita dan hati kita dari hal-hal yang dilarang agama, seperti perkataan keji (qaul az-zûr), ghibah, menebar hoaks, fitnah, hate speech (ujaran kebencian), dan adu domba, baik secara langsung maupun melalui media-media digital, media elektronik, televisi, radio, internet, dan media sosial (medsos). Intinya marilah kita jadikan bulan Ramadhan ini bulan penyucian badan dan rohani kita dari segala keburukan, agar kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan hidup.
Semoga kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan di bulan Ramadhan ini. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn.
ZAKAT FITRAH DENGAN UANG
Kewajiban umat Muslim setelah selesai puasa Ramadhan adalah membayar zakat fitrah. Kewajiban ini dimulai sejak terbenamnya matahari sore Idul Fitri sampai sebelum dilaksanakannya shalat ‘Ied. Dasar syariat zakat fitrah sendiri salah satunya hadits Rasulullah saw berikut:
فَرَضَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ
وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Artinya, “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri dengan satu sha’ kurma atau
satu sha’ gandum, baik atas budak, merdeka, lelaki, perempuan, anak kecil,
maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pada dasarnya, sesuatu yang dikeluarkan untuk zakaf fitrah adalah makanan pokok dengan bobot satu sha’ atau jika di Indonesia berupa beras setara ukuran 2,7 kg atau 3,0 liter. Hal ini mengikuti pendapat Imam asy-Syafi'i.
Pendapat ini juga merupakan didukung mayoritas ulama, dan masih sangat banyak diikuti oleh masyarakat umum. Ini juga terkait Keputusan Muktamar ke-4 NU tahun 1929 yang tidak membolehkan zakat penghasilan tanah dengan uang, termasuk zakat fitrah.
Hanya, di zaman modern seperti sekarang menuntut semua agar lebih praktis, termasuk dalam membayar zakat yang akan lebih simpel jika menggunakan uang.
Imam
asy-Syafi'i yang juga sependapat dengan mayoritas ulama memang tidak
membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk uang (qimah). Akan tetapi,
mempertimbangkan kepraktisan maka Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) pernah memutuskan tentang kebolehan konversi zakat
dengan uang dengan mengacu pada ulama yang membolehkan.
Berikut adalah beberapa rekomendasi dari LBM PBNU dalam keputusan tersebut:
1. Yang terbaik dalam menunaikan zakat fitrah adalah pembayaran dengan beras. Adapun satu sha’ versi Imam an-Nawawi adalah bobot seberat 2,7 kg atau 3,5 liter. Sedangkan ulama lain mengatakan, satu sha’ seberat 2,5 kg.
2. Masyarakat diperbolehkan pula membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang sesuai harga beras 2,7 kg atau 3,5 liter atau 2,5 kg sesuai kualitas beras layak konsumsi oleh masyarakat setempat.
3. Segenap panitia zakat yang ada di masyarakat baik di mushalla maupun di masjid dianjurkan untuk berkoordinasi dengan LAZISNU terdekat.
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).<>Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295) Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”
Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al-Baqarah [2]: 286).
Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi
perbincangan para ulama salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Imam
Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz
sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama
Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi
yang logis serta dapat diterima.
Membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh, bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama. Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki para fakir miskin jumlahnya berlebihan. Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab.