Puasa di bulan suci Ramadhan bermuara pada ketakwaan kepada Allah SWT seperti yang dijelaskan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
la’allakum tattaqun. Meskipun memang, puasa bukan satu-satunya ibadah yang dapat membawa manusia pada ketakwaan, tetapi level takwa telah dijamin oleh Allah untuk orang-orang beriman yang menunaikan ibadah puasa Ramadhan.
Berbicara tentang, Pakar Tafsir Prof Dr Muhammad Qiraish Shihab dalam buku
karyanya Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000)
menjelaskan, takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi,
atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti,
hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah.
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana
mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya. Sedangkan Dia
(Allah) bersama manusia di mana pun manusia berada.
Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya.
Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa
mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Sebagaimana
kita ketahui, siksa Allah ada dua macam:
Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang
ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini. Seperti misalnya, "Makan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit", "Tidak mengendalikan diri
dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan
membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti
tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang
dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syekh Muhammad Abduh dalam Quraish Shihab (2000) menulis, "Menghindari
siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.”
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang
menyiksa (Allah SWT). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya
siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT (yang
menyiksa).
Dengan demikian, yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT
setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu
dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya,"
sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai derajat takwa, antara
lain dengan jalan berpuasa seperti yang dijelaskan di awal. Puasa seperti yang
telah dipahami bersama adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain
karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT.
Sebab, beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani
sifat-sifat Allah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Dalam hal
ini, kekuasaan Allah baik dalam wujud ayat-ayat qauliyah (wahyu) maupun
ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda alam) bisa menjadi washilah bagi manusia
merenungi sekaligus memanifestasikan sifat-sifat Allah.