Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam, kesehatan dan kesejahteraan semoga untuk kita semuanya. Untuk pembelajaran kelas X Fikih bagian 2
Rabu, 28 Juli 2021
IPS 4 Jam ke 1-2, IPS 1 Jam ke 3-4
Jum'at, 30 Juli 2021
IPS 3 Jam ke 1-2, MIPA 1 Jam ke 3-4
IPS 2 Jam ke 7-8, MIPA 2 Jam ke 9-10
Tugasnya :
1. Rangkum materinya
2. Catatan rangkuman kirim ke elearning atau alamat email nanamisnara.tugas@gmail.com
3. Jangan lupa tulis
Nama :
Kelas :
Mata Pelajaran : Fikih
5. Jika ada pertanyaan silahkan japri
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat mengerjakan, terima kasih.
Periodesasi Perkembangan Ilmu Fikih
Menurut Syaikh Abdul Wahab Khalaf (w. 1357 H / 1956 M) perkembangan tarikh al-Tasyri’ atau fikih islam terbagi menjadi empat periode yakni periode Rasulullah, periode sahabat, periode tadwin dan periode taqlid.
1. Periode Nabi Muhammad Saw.
Tarikh Tasyri' Islam atau sejarah fikih Islam, pada hakikatnya tumbuh dan berkembang di masa Nabi, karena Nabilah yang mempunyai wewenang atas dasar wahyu untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Pada Masa Rasulullah adalah masa fikih Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran. Tentang Sunnah Rasul adalah berdasarkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepadanya. Demikian juga segala tindak-tanduk Rasulullah Saw. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Sebagaimana
diterangkan dalam firman Allah QS. An-Najm (53): 3-4 yang berbunyi:
ÙˆَÙ…َا ÙŠَÙ†ۡØ·ِÙ‚ُ عَÙ†ِ الۡÙ‡َÙˆٰÙ‰ؕ اِÙ†ۡ Ù‡ُÙˆَ اِÙ„َّا ÙˆَØۡÙ‰ٌ ÙŠُّÙˆۡØٰÙ‰ۙ
Artinya: "Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)," (An- Najm[53]: 3-4)
Pada periode ini, walaupun usianya tidak panjang, namun telah meninggalkan dampak kuat dan kesan-kesan serta pengaruh yang signifikan bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nash (dalil) nya. Periode Rasulullah Saw. ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
a. Periode Makkah
Periode pertama dalam periode Nabi ialah periode Makkah, yakni masa selama Rasulullah Saw. menetap dan berkedudukan di Makkah selama 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah ke Madinah. Dalam masa ini, Umat Islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang kuat.
Nabi telah mencurahkan tauhid ke dalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta menjauhkan manusia dari menyembah berhala menuju penghambaan yang nyata, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Pada masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Rasulullah Saw. untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Oleh karena itu, tidak ada ayat-ayat hukum di dalam surat Makkiyah seperti surat Yunus, Ar-Ra’du, Yasin, Al-Furqon dan sebagainya. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah berisikan hal-hal yang orientasinya akidah, akhlak dan sejarah.
b. Periode Madinah
Periode kedua dalam periode nabi ialah periode Madinah, Yakni masa dimana Rasulullah Saw. telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana selama 10 tahun sampai Beliau wafat. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Rasulullah Saw. mulai membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk membentuk syari’at dan peraturan-peraturan bagi masyarakat guna mengatur hubungan antar anggota masyarakat satu dengan lainnya dan hubungan mereka dengan umat lainnya dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, talak, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang dan semua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum pidana dan lain sebagainya. Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An-Nur dan sebagainya banyak mengandung ayat-ayat hukum di samping mengandung ayat-ayat tentang akidah, akhlak, sejarah dan lain-lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat akidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosial mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas.
Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Oleh karena itu Rasulullah Saw. memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.
2. Periode Sahabat
Periode kedua ini berkembang pada masa wafatya Nabi Muhammad Saw. dan berakhir sejak Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah Islam. Pada periode ini juga wilayah islam sudah semakin meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini pada bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya, disamping itu juga terjadi hal-hal yng tidak menguntungkan yaitu perpecahan masyarakat islam yang bertentangan sacara tajam.
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-Qur’an, Hadis, ijma’ dan qiyas. Adat istiadat dan peraturan peraturan berbagai daerah yang bernaungan di bawah Islam tak luput ikut memperkaya aturan-aturan yang berlaku. Dapat ditegaskan bahwa zaman khulafaurrasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri’ Islam. Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari al-Qur’am maupun hadis, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash.
Selain itu, para sahabat memberi fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nash yang jelas mengenai masalah itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad. Dalam Hal ini, tidaklah menyalahi jika apa yang dilakukan oleh para sahabat juga bisa dijadikan pegangan oleh para tabi'in. hal ini selaras dengan Sabda Nabi yang berbunyi:
أصØابي كالنُّجومِ، بأيِّهم اقتَدَÙŠْتم اهتَدَÙŠْتُÙ…
Artinya: "Para Sahabatku laksana bintang-bintang (dalam kegelapan malam) dengan siapa saja kalian mengikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk"
Tatkala Rasulullah Saw. Bersabda, maka para sahabat secara langsung mengambil ilmu dari Beliau. Ketika ada suatu permasalahan, maka sahabat tak sungkan untuk bertanya kepada sumbernya langsung, sehingga segala sesuatunya menjadi jelas. Hanya saja, pada periode ini, belum ada pembukuan fikih, maksudnya adalah bahwa fikih hanya dikaji tanpa adanya suatu catatan-catatan yang bisa dibaca oleh generasi setelahnya.
3. Periode Tadwin
Pemerintah Islam pasca keruntuhan Daulah Umayyah segera digantikan oleh Daulah Abbasiyyah. Masa Abbasiah ini disebut juga masa Mujahidin dan masa pembukuan fikih, karena pada masa ini terjadi pembekuan dan penyempurnaan fikih. Pada masa Abbasiyyah, yang dimulai dari pertengahan adab ke-2 H sampai peretngahan abad ke-4 ini, muncul usaha-usaha pembukuan al-Hadis, Atsar Sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in dalam bidang fikih, tafsir, ushul al-fikih dan sebagainya.
Pada masa ini pada lahir para tokoh dalam istinbat dan perundangan-undangan Islam. Masa ini disebut masa keemasan Islam yang ditandai dengan berkembangannya ilmu pengetahuan yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang. Pada masa ini muncul pula mazhab-mazhab fikih yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Diantaranya:
a. Imam Abu Hanifah
Beliau adalah Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan At-Taymi. Lebih dikenal dengan nama Abu Hanifah, Seorang mujtahid dan pendiri mazhab Hanafi. Lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 H / 699 M dan meninggal di Baghdad, Irak pada tahun 150
H / 767 M.
Beliau merupakan seorang tabi'in, yakni generasi setelah sahabat nabi, karena pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah Saw. yang bernama Anas bin Malik dan beberapa peserta perang badar yang dimuliakan Allah Swt. yang merupakan generasi terbaik Islam. Beliau juga berguru kepadanya dalam meriwayatkan Hadis dan berbagai ilmu dari Rasulullah Saw.
Sedangkan salah satu guru Imam Abu Hanifah dalam bidang ilmu fikih adalah Syaikh Hammad bin Abi sulaiman. Beliau berguru kepada Syaikh Hammad selama 18 tahun.
Ketika sang guru wafat, beliau menggantikan posisi gurunya sebagai guru besar. Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, dan yang paling terkenal dan giat dalam membukukan apa yang disampaikan oleh beliau adalah Syaikh Abu Yusuf. Dari Syaikh Abu Yusuf inilah mazhab Hanafi terus berkembang sampai sekarang.
b. Imam Malik
Beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin 'Amr Al-Humyari Al-Asbahi Al- Madani. Lahir di Madinah pada tahun 714 M / 93 H dan wafat pada tahun 800 M /
179 H. Beliau terkenal dengan kecerdasan yang luar biasa. Beliau memiliki buah kar- ya yang sangat terkenal,yakni kitab Al-Muwattha'. Kitab yang memuat kompilasi Hadis dan ucapan para sahabat. Beliau juga salah satu mujtahid mutlak, pendiri ma- zhab Maliki yang dalam perkembangannya banyak digunakan di daerah Madinah dan sebagian Makkah. Diantara guru beliau adalah Nafi' bin Abi Nu'aim, Nafi' Al- Muqbiri, Na'imul Majmar, Az-Zuhri dan lain-lain. Kemudian murid-murid beliau di- antaranya adalah Ibnul Mubarok, Penerus dan pengembang dari mazhab Malikiyyah, Sufyan At-Tsauri, Imam As-Syafi'i, pendiri mazhab Syafi'iyyah, Abu Hudzaifah As- Sahmi dll.
c. Imam As-Syafi'i
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris AS-Syafi'i Al-Muttholibi Al-Quraisy. Seorang mufti besar sunni islam dan pendiri mazhab Syafi'i. Lahir di Pal- estina tahun 150 H / 767 M dan wafat di Mesir tahun 204 H / 819 M. Beliau masih tergolong kerabat nabi melalui jalur kakeknya yang bernama Al-Muttholib, yakni saudara dari Hasyim yang merupakan kakek Rasulullah Saw.
Dalam perjalanan hidupnya, setelah ayah beliau meninggal dan dua tahun ke- lahirannya, sang ibu membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyangnya. Di Mak- kah, As-Syafi'i kecil belajar fikih kepada mufti disana, Syaikh Muslim bin Kholid Az- Zanji sampai beliau mengizinkan Syafi'i kecil memberikan fatwa ketika masih beru- mur 15 tahun. Kemudian Syafi'i remaja berguru kepada Imam Dawud bin Abdurrah- man Al-Atthar dan masih banyak lagi guru-guru beliau. Ketika As-Syafi'i kecil beru- mur 9 tahun,
Ia pergi ke Madinah dan berguru fikih kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha' kepada Imam Malik dan mampu menghafalkannya hanya dalam 9 maalam saja. Setelah Imam As-Syafi'i dewasa, dengan segala ilmu yang telah Ia pelajari, Ia mulai berijtihad dan berfatwa serta produktif dalam menulis kitab-kitab
konseptual nan praktis sebagai media rujukan kaum muslim dalam menjalankan ke- hidupan individual maupun sosial. Buah dari ijtihad beliau adalah mazhab syafi'iyyah yang mana mazhab ini merupakan mazhab dengan penganut terbanyak di dunia saat ini.
d. Imam Ahmad Bin Hambal
Ahmad bin Hambal lahir di Baghdad, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Pada nasabnya, ia bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal dari kalangan Bani Syaiban, salah satu kabilah di Arab. Nama Ahmad bin Hambal ini disandarkan pada kakeknya. Sebagaimana dicatat Ad-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an Nubala’, ayahnya adalah seorang pimpinan militer di Khurasan.
Saat masih kanak-kanak, Ahmad bin Hambal ditinggal wafat oleh ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium. Sedangkan kakeknya, Hambal, adalah seorang gubernur pada masa Dinasti Umayyah. Banyak ulama menyebutkan bahwa Imam Ahmad berkutat mencari ilmu di Baghdad dan sekitarnya sampai usia 19 tahun. Setelah menghafal al Qur'an di usia belia, ia mulai mengumpulkan hadis dan mendalami fikih sejak umur 15 tahun.
Setelah masa-masa di Baghdad, ia berkelana ke banyak daerah, seperti Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam, guna berguru kepada ulama terkemuka setempat. Para periwayat hadis banyak sekali tercatat pernah tinggal, atau setidaknya, singgah di Baghdad. Para tokoh ulama ini diabadikan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Oleh sebab itu Ahmad bin Hambal begitu terpengaruh oleh mereka, dan nantinya merupakan salah satu kalangan ahlul Hadis terkemuka. Sebagian besar kekayaan ilmu Ahmad Ibn Hambal diperoleh di kota kelahirannya, Baghdad.
Sebagai sosok yang besar di sana pada kurun abad ke-2 hijriah, Ahmad bin Hambal berada dalam pusaran keilmuan Islam. Berkat ketekunannya mengumpulkan hadis, Ahmad bin Hambal memiliki hafalan hadis yang banyak sekali. Ini membuatnya sangat kompeten dalam periwayatan hadis, dan segera menjadi salah satu tokoh terkemuka di bidang tersebut.
Di samping itu, ilmu fikih mulai banyak dikembangkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Saat Mu’awiyah Ibnu Abi Sufyan mengambil alih kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Kemudian ketika Abbasiyah mengambil alih kekuasaan dari Bani Umayyah, pusat kerajaan atau ibu kota politik dunia islam dipindah ke kota Baghdad.
Beliau belajar kepada para guru tersohor, seperti Syekh Abu Yusuf, salah satu murid utama Abu Hanifah, kemudian Abdur Razzaq, salah satu generasi pemula penyusun kitab hadis, serta Imam As-Syafi'i. Ketika Imam As-Syafi’i tinggal di Baghdad, Ahmad Ibn Hambal rajin mengikuti halaqahnya. Kedalaman ilmu fikih dan hadisnya menjadikan pribadi Ahmad ibn Hambal sebagai pribadi yang unggul di majelis Imam asy-Syafi’i. Imam asy-Syafii juga tercatat berjumpa dengan Imam Ahmad di dataran Hijaz saat Imam Ahmad sedang melakukan haji, serta saat Imam As-Syafi’i sedang berkunjung ke Irak.
Imam As-Syafi'i pun memuji sosok Imam Ahmad bin Hambal: “Aku keluar dari Irak, dan tiada kutemui orang yang lebih mumpuni ilmunya dan zuhud dibanding Ahmad bin Hambal,” tutur beliau. Ia digambarkan para muridnya sebagai pribadi yang wara’, santun, dan ramah. Ahmad bin Hambal fokus menimba ilmu, dan baru menikah pada usia 40 tahun. Di usia itu, dengan perbendaharaan ilmu yang kaya khususnya dalam bidang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis tersendiri di kota Baghdad. Oleh beberapa ulama ia dinilai mengikuti jejak Imam Abu Hanifah yang membuka majelis saat usia serupa, dan dianggap baru memberanikan diri membuka majelis usai wafatnya Imam Syafi’i sebagai bentuk takzim. Dari majelis ini pula, Ahmad bin Hambal mulai merumuskan dasar-dasar mazhabnya, mengeluarkan fatwa, dan membimbing murid-muridnya.
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembanganya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut.
Pertama, adanya penterjemahan buku- buku Yunani, persia, Romawi, dan sebagainya ke dalam bahasa Arab. Kedua, luasnya ilmu pengetahuan. Ketiga, adanya upaya umat Islam untuk melestarikan isi dalam kandungan Al-Qur’an, Al-Hadis, ijma' dan qiyas secara teoritis dan praktis.
4. Periode Taqlid
Sejak akhir pemerintahan Abbasiyyah, tampaknya kemunduran berijtihad sehingga sikap taqlid berangsur-angsur tumbuh merata di kalangan umat Islam. Yang di maksud dengan masa taqlid adalah masa ketika semangat (himmah) para ulama untuk melakukan ijtihad mutlak mulai melemah dan mereka kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi dalam peng-istinbath-an hukum dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
a. Sebab-sebab Taqlid
Secara umum sikap taqlid disebabkan oleh keterbelengguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan berpikir. Sikap taqlid disebabkan pula oleh adanya para ulama saat itu yang kehilangan kepercayaan diri untuk berijtihad secara mandiri. Mereka menganggap para pendiri mazhab lebih cerdas ketimbang dirinya. Sikap taqlid juga disebabkan oleh banyaknya kitab fikih dan berkembangnya sikap berlebihan dalam melakukan kitab-kitab fikih. Hilangnya kecerdasan individu dan merajalelanya hidup materialistik turut mempertajam munculnya sikap taqlid.
b. Aktifitas Ulama di masa Taqlid
Masa taqlid disebut juga masa para fuqaha mempropagandakan mazhab dan aliran mereka masing-masing. Mereka menulis kitab-kitab yang menjelaskan keistimewaan imam mereka masing-masing dan memberi fatwa pula bahwa orang yang bertaqlid (muqallid) tidak boleh menggabungkan mazhab satu dengan mazhab lainnya. Pada masa ini kitab-kitab para ulama mazhab dapat dikategorikan kepada tiga kelompok, yaitu matan, syarh dan hasyiyah. Matan adalah kumpulan masalah-masalah pokok yang disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah. Syarh merupakan komentar dari kitab matan agar lebih terperinci. Sedangkan hasyiyah adalah komentar dari syarh yang dirasa masih perlu dijabarkan atau diperinci kembali.